Bagi yang lahir di era 60-70an, pasti tidak terlalu mempermasalahkan keadaan dan cenderung hidup di luar zamannya. Ada yang terlalu ke belakang. Ada yang terlalu ke depan. Tipe pertama nostalgianis, terlalu berpijak kepada masa lalu. Tipe kedua, futuristis, terlalu menggebu meraih masa depan. Keduanya sama-sama mengawang, tidak realistis, dan tidak bersenyawa dengan iklim kekinian.
Saya terus terang tidak memahami era Bung Karno dan Pak Harto di awal-awal kekuasaan represifnya. Kata guru-guru di pesantren, era awal Pak Harto sangat Islamphobia. Babinsa adalah mata dan "malaikat" pencatat gerak-gerik kehidupan siapapun yang anti dan melawan rezim. Puncaknya saat pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal, sejarah mencatat tak sedikit nyawa tak berdosa yang dibinasakan.
Kini saya mengalami masa-masa hitam dari sebuah junta militer. Sang junta adalah the godfather, untouchable, the decisionmaker, the ruler, bahkan the judgment yang bisa memvonis seseorang itu berhak hidup-mati-bebas-dipenjara dll.
Tengoklah. Orang-orang terhormat dibuat terlaknat. Tak peduli ulama-ilmuan-ahli-pakar-dermawan-wartawan-olahragawan-bahkan sosok-sosok pahlawan pun menjadi pesakitan. Tragisnya ragam penghinaan-pelecehan-juga pembantaian didukung alim ulama penguasa, yang kedalaman ilmu dan keluasan wawasan tidak lagi mampu menghasilkan kejernihan pemikiran dan tafsir waqi'i atas situasi-kondisi yang sarat emosional. Pepatah mengatakan, "Di balik penguasa keji, ada alim ulama yang tak bernurani."
Maka pemandangan-pemandangan mencekam itu tergambar. Sang junta beraksi seperti godfather ala mafia Italia. Untuk menuntaskan satu cerita, maka didatangkan figuran-figuran yang tak dominan, namun cukup menjadi bumbu. Sisi protagonis dan antagonis beriringan. Namun tetap, korban harus di pihak yang paling dibenci dan harus dimarjinalkan. Siapa lagi jika bukan poros kekuatan Islam yang diyakini mampu menjadi pesaing berat dalam pergumulan.
Katanya di era Pak Harto, intelejen adalah struktur negara di dalam negara. Apapun bisa terjadi dan bisa jadi-jadian. Terlebih media hanya tunggal, yang pro karena yang anti bahkan yang seimbang pun ditiadakan.
Namun seburuk-buruknya Pak Harto, ia tidak menugaskan TNI membantai mahasiswa atau demonstran yang mengepung istana dan gedung DPR\MPR. Jika mau dan masih bernafsu, pak Harto bisa saja nekat. Toch Indonesia punya banyak asset, tak perlu khawatir dengan embargo.
Di titik ini saya memahami, demokrasi yang berasal dari Barat itu ada sisi positifnya. Yaitu terbukanya pintu dialog dan persaingan sehat. Memang sisi negatifnya, di era demokrasi suara ulama sama dengan suara pezina. Di sini justru perjuangannya. Kita dituntut menaklukkan hati para pezina, garong, ahli maksiat dengan suasana cinta.
Saya masih tak percaya, orang-orang hebat dibabat habis. Manusia-manusia yang kepakaran dalam ilmu dan karya nyata, di era junta malah menjadi hina dina. Justru orang-orang bejat malah diposisikan sebagai manusia terhormat.
Saya semakin yakin. Suara-suara yang lantang menyerukan demokrasi kufur dan harus mati. Ternyata, saat ini di Mesir suara itu pun ikut mati. Jangankan suara yang menyerukan untuk menerapkan syariah dan khilafah, suara sekedar mengatakan "Tidak terhadap kudeta" bernasib dipenjara atau dibunuh hingga keuarganya. Jadi kegarangan menyatakan demokrasi thogut-kufur, itu hanya di alam demokrasi. Sekali lagi, ketika demokrasi mati, suara itu pun mati seiring dengan kepergian Presiden Mursi.
Oleh karena itu, mari kita perjelas jenis kelamin kita. Demokrasi bukan dari Islam. Tapi ia adalah hal mubah untuk dimanfaatkan. Jangan bilang: Junta militer No! Demokrasi No! Ujung-ujungnya kita menjadi pribadi yang serba No! Karena ingat, amal shalih kita tidak tergantung sistem kepemimpinan atau keadaan. Di masa Fir'aun pun, Allah masih mengakui keimanan Siti Asiah. Katakan saja demokrasi era Jahiliah. Tapi Rasul bersabda, " Khiyaarukum fil Jaahiliyyah Khiyaarukum Fil Islaami idzaa faqihuu!" Yang terbaik di masa jahiliyah, akan menjadi yang terbaik pula di masa Islam, jika ia memahami!
-
Source: http://muslimina.blogspot.com/2013/09/demokrasi-mati.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
Saya terus terang tidak memahami era Bung Karno dan Pak Harto di awal-awal kekuasaan represifnya. Kata guru-guru di pesantren, era awal Pak Harto sangat Islamphobia. Babinsa adalah mata dan "malaikat" pencatat gerak-gerik kehidupan siapapun yang anti dan melawan rezim. Puncaknya saat pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal, sejarah mencatat tak sedikit nyawa tak berdosa yang dibinasakan.
Kini saya mengalami masa-masa hitam dari sebuah junta militer. Sang junta adalah the godfather, untouchable, the decisionmaker, the ruler, bahkan the judgment yang bisa memvonis seseorang itu berhak hidup-mati-bebas-dipenjara dll.
Tengoklah. Orang-orang terhormat dibuat terlaknat. Tak peduli ulama-ilmuan-ahli-pakar-dermawan-wartawan-olahragawan-bahkan sosok-sosok pahlawan pun menjadi pesakitan. Tragisnya ragam penghinaan-pelecehan-juga pembantaian didukung alim ulama penguasa, yang kedalaman ilmu dan keluasan wawasan tidak lagi mampu menghasilkan kejernihan pemikiran dan tafsir waqi'i atas situasi-kondisi yang sarat emosional. Pepatah mengatakan, "Di balik penguasa keji, ada alim ulama yang tak bernurani."
Maka pemandangan-pemandangan mencekam itu tergambar. Sang junta beraksi seperti godfather ala mafia Italia. Untuk menuntaskan satu cerita, maka didatangkan figuran-figuran yang tak dominan, namun cukup menjadi bumbu. Sisi protagonis dan antagonis beriringan. Namun tetap, korban harus di pihak yang paling dibenci dan harus dimarjinalkan. Siapa lagi jika bukan poros kekuatan Islam yang diyakini mampu menjadi pesaing berat dalam pergumulan.
Katanya di era Pak Harto, intelejen adalah struktur negara di dalam negara. Apapun bisa terjadi dan bisa jadi-jadian. Terlebih media hanya tunggal, yang pro karena yang anti bahkan yang seimbang pun ditiadakan.
Namun seburuk-buruknya Pak Harto, ia tidak menugaskan TNI membantai mahasiswa atau demonstran yang mengepung istana dan gedung DPR\MPR. Jika mau dan masih bernafsu, pak Harto bisa saja nekat. Toch Indonesia punya banyak asset, tak perlu khawatir dengan embargo.
Di titik ini saya memahami, demokrasi yang berasal dari Barat itu ada sisi positifnya. Yaitu terbukanya pintu dialog dan persaingan sehat. Memang sisi negatifnya, di era demokrasi suara ulama sama dengan suara pezina. Di sini justru perjuangannya. Kita dituntut menaklukkan hati para pezina, garong, ahli maksiat dengan suasana cinta.
Saya masih tak percaya, orang-orang hebat dibabat habis. Manusia-manusia yang kepakaran dalam ilmu dan karya nyata, di era junta malah menjadi hina dina. Justru orang-orang bejat malah diposisikan sebagai manusia terhormat.
Saya semakin yakin. Suara-suara yang lantang menyerukan demokrasi kufur dan harus mati. Ternyata, saat ini di Mesir suara itu pun ikut mati. Jangankan suara yang menyerukan untuk menerapkan syariah dan khilafah, suara sekedar mengatakan "Tidak terhadap kudeta" bernasib dipenjara atau dibunuh hingga keuarganya. Jadi kegarangan menyatakan demokrasi thogut-kufur, itu hanya di alam demokrasi. Sekali lagi, ketika demokrasi mati, suara itu pun mati seiring dengan kepergian Presiden Mursi.
Oleh karena itu, mari kita perjelas jenis kelamin kita. Demokrasi bukan dari Islam. Tapi ia adalah hal mubah untuk dimanfaatkan. Jangan bilang: Junta militer No! Demokrasi No! Ujung-ujungnya kita menjadi pribadi yang serba No! Karena ingat, amal shalih kita tidak tergantung sistem kepemimpinan atau keadaan. Di masa Fir'aun pun, Allah masih mengakui keimanan Siti Asiah. Katakan saja demokrasi era Jahiliah. Tapi Rasul bersabda, " Khiyaarukum fil Jaahiliyyah Khiyaarukum Fil Islaami idzaa faqihuu!" Yang terbaik di masa jahiliyah, akan menjadi yang terbaik pula di masa Islam, jika ia memahami!
Asqi Resnawan 06 Sep, 2013
-
Source: http://muslimina.blogspot.com/2013/09/demokrasi-mati.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar